Jumat, 08 Mei 2009

Potensi Penyimpangan Anggaran Negara

BPK kembali memberikan opini disclaimer (tidak menyatakan pendapat) terhadap hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2007. Hal ini disampaikan Ketua BPK Anwar Nasution saat menyerahkan secara resmi Laporan Hasil Pemeriksaan BPK tersebut kepada DPR RI dalam Sidang Paripurna DPR RI tanggal 3 Juni 2008 lalu.

BPK kembali memberikan opini disclaimer (tidak menyatakan pendapat) terhadap hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2007. Hal ini disampaikan Ketua BPK Anwar Nasution saat menyerahkan secara resmi Laporan Hasil Pemeriksaan BPK tersebut kepada DPR RI dalam Sidang Paripurna DPR RI tanggal 3 Juni 2008 lalu.
Semua LKPP yang disusun pemerintah sejak tahun 2004 hingga tahun 2007 mendapat opini disclaimer. Artinya tidak ada peningkatan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara sehingga informasi keuangan negara yang tersedia tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Ada tujuh alasan pokok yang menyebabkan BPK memberi opini disclaimer pada LKPP Tahun 2004-2007:
1. Terbatasnya akses BPK RI atas informasi tentang penerimaan dan piutang pajak, dan biaya perkara yang dipungut oleh Mahkamah Agung, sehingga tidak dapat menyatakan pendapat mengenai tujuh puluh persen lebih jumlah penerimaan negara.
2. Adanya kelemahan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan negara.
3. Belum tertibnya penempatan uang negara dan belum adanya single treasury account pemerintah.
4. Tidak adanya inventarisasi asset serta utang maupun piutang negara.
5. Belum handal dan terintegrasinya sistem teknologi informasi negara.
6. Kelemahan sistem pengendalian internal pemerintah yang belum mampu melakukan reviu kebenaran laporan keuangan sebelum diperiksa BPK.
7. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan masih adanya penerimaan dan pengeluaran diluar mekanisme APBN.
Ketujuh alasan tersebut disimpulkan berdasarkan temuan-temuan pemeriksaan yang sebagian besar merupakan temuan-temuan yang berulang.
Temuan Pemeriksaan
Dari hasil pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern didapati temuan-temuan sebagai berikut:
A. Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
Proses Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2007 belum sepenuhnya sesuai dengan Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat. Hal ini menyebabkan terjadinya selisih yang tidak dapat dijelaskan, yaitu mengenai Realisasi Penerimaan Perpajakan terjadi selisih sebesar Rp7.958,48 miliar, Pelaporan Belanja pada Laporan Realisasi APBN (LRA) Tahun 2007 dan Pengeluaran Kas yang sejenis pada Laporan Arus Kas (LAK) Tahun 2007 berbeda nilainya sebesar minus Rp236,53 miliar, serta Hasil Penerimaan Negara selama tahun 2007 terjadi selisih sebesar Rp67.630,51 miliar (antara Modul Penerimaan Negara (MPN) dengan Bank/Kantor Pos) dan Rp28.770,01 miliar (antara MPN dengan Laporan Kas Posisi).
Kondisi tersebut mengakibatkan penerimaan perpajakan dan belanja negara yang dilaporkan dalam Laporan Realisasi APBN, dan pengeluaran sejenis pada Laporan Arus Kas Tahun 2007 tidak dapat diyakini kewajarannya.
B. Sistem Pengendalian Pendapatan Negara dan Hibah
Sistem pencatatan dan pelaporan penerimaan perpajakan, bea masuk dan cukai tidak dapat menyajikan data realisasi yang akurat. Hal ini menyebabkan terjadinya selisih realisasi penerimaan perpajakan antara data Sistem Akuntansi Pusat (SiAP) dan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) sebesar Rp7.958,48 miliar. Perbedaan tersebut tidak dapat direkonsiliasi oleh Pemerintah. Selain itu realisasi penerimaan bea masuk dan cukai terdapat selisih antara laporan keuangan dengan Direktorat PPKC sebesar Rp327,61 miliar. Kondisi tersebut mengakibatkan realisasi penerimaan perpajakan, bea masuk dan cukai tidak dapat diyakini kewajarannya.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pajak Penghasilan (PPh) Minyak dan Gas Bumi (Migas) tidak dilaporkan secara transparan dan atas realisasi penerimaan dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sebesar USD11,680,514,651 atau senilai Rp106.931,83 miliar tidak disetor langsung sesuai mekanisme APBN. Kondisi tersebut mengakibatkan realisasi penerimaan negara dari migas yang dikelola melalui KKKS tahun 2007 dicatat terlalu rendah.
Penerimaan dan penggunaan Dana Hibah secara langsung pada 12 kementerian negara/lembaga senilai Rp1.337,45 miliar belum dilaporkan dalam Laporan Realisasi APBN Tahun 2007. Permasalahan tersebut mengakibatkan penerimaan dan penggunaan dana hibah baik berupa uang maupun aset minimal senilai Rp1.337,45 miliar tidak dipertanggungjawabkan dan penyajian Penerimaan Hibah sebesar Rp1.697,75 miliar dalam Laporan Realisasi APBN LKPP Tahun 2007 tidak dapat diyakini kewajarannya.
C. Sistem Pengendalian Intern atas Belanja Negara
Sistem penyaluran, pencatatan, dan pelaporan realisasi belanja bantuan sosial tidak memadai. Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan kementerian negara/lembaga Tahun 2007 menunjukkan bahwa realisasi bantuan sosial belum disalurkan seluruhnya dan penganggaran bantuan sosial tidak sesuai dengan realisasinya pada tujuh kementerian negara/lembaga senilai Rp1.015,15 miliar.
Hal tersebut mengakibatkan realisasi belanja bantuan sosial yang dilaporkan dalam LKPP Tahun 2007 senilai Rp1.015,15 miliar tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya.

D. Sistem Pengendalian Aset
Hasil pemeriksaan BPK atas Rekening-rekening Pemerintah Lainnya (RPL) menunjukkan bahwa masih ada 25 RPL di BI dengan saldo sebesar Rp1.468,50 miliar untuk 24 rekening dan satu rekening bersaldo Rp0,00 yang sudah lebih dari dua tahun tidak ada mutasi transaksi. Informasi lain mengenai dasar hukum, tujuan pembukaan rekening, jenis rekening, sumber dana, dan pejabat yang melakukan pembukaan rekening tidak dapat dijelaskan.
Rekening pemerintah pada kementerian/lembaga juga belum selesai ditertibkan dan masih banyak yang tidak jelas statusnya. Hingga saat ini terdapat 3.931 rekening dengan nilai Rp10.228,26 miliar dan US$391,45 ribu yang belum selesai pembahasannya dan belum dapat ditetapkan statusnya.
Hal tersebut mengakibatkan pemanfaatan atas saldo Kas Negara pada rekening-rekening tersebut tidak optimal. Selain itu, posisi Kas dan Bank yang dilaporkan dalam Neraca Pemerintah Pusat per 31 Desember 2007 tidak dapat diyakini kewajarannya.
Piutang Pajak sebesar Rp42.042,10 miliar yang disajikan dalam LKPP Tahun 2007 tidak dapat diyakini kewajarannya. Sampai dengan pemeriksaan berakhir, DJP tidak dapat memberikan/menunjukkan penjelasan/dokumen sumber penyajian data tentang nilai Piutang Pajak yang sedang diajukan keberatan/banding. Berdasarkan kondisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa DJP tidak mengetahui dengan pasti jumlah/nilai Piutang Pajak untuk kondisi per 31 Desember 2007 dan pengujian dokumen/data sumber penyajian nilai Piutang Pajak dalam laporan keuangan tidak dapat dilakukan kerena adanya pembatasan oleh DJP.
Nilai Penyertaan Modal Negara (PMN) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perusahaan Minoritas masing-masing sebesar Rp455.367,88 miliar dan Rp3.239,56 miliar tidak dapat diyakini kewajarannya. Laporan keuangan (Audited dan Unaudited) 74 BUMN tersebut belum dilampirkan dalam LKPP Tahun 2007 sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa LKPP yang diperiksa BPK harus dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan Negara dan badan lainnya.
Nilai Penyertaan Modal Pemerintah pada lembaga internasional tidak dapat diyakini kewajarannya. Laporan dari Pusat Kerjasama Internasional Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Departemen Keuangan, ternyata hanya mendasarkan pada laporan keuangan lembaga internasional yang bersangkutan tanpa didukung dengan dokumentasi transaksi dalam setiap setoran penyertaan yang dikonversikan ke dalam nilai rupiah dengan menggunakan kurs tengah BI per 31 Desember 2007. Pemeriksaan lebih lanjut dengan membandingkan laporan keuangan lembaga internasional dengan catatan yang diperoleh dari Pusat Kerjasama Internasional menunjukkan adanya selisih antara nilai penyertaan modal Pemerintah yang dilaporkan dalam LKPP Tahun 2007 dengan nilai yang tercantum dalam Laporan Keuangan Lembaga Internasional yang memiliki penyertaan modal Pemerintah sebesar USD92.11 juta atau Rp867,62 miliar.
Aset Lain-Lain berupa barang Sitaan, barang Bukti, dan barang Rampasan (SBR) di beberapa Kementerian Negara/Lembaga tidak dilaporkan dalam LKPP Tahun 2007. Saldo Aset Lain-Lain dalam LKPP Tahun 2007 sebesar Rp285.422,22 miliar masih belum memperhitungkan barang sitaan DJBC yang telah ditetapkan menjadi milik negara. Uji petik terhadap pengelolaan barang sitaan pada beberapa KPPBC diketahui masih terdapat barang sitaan yang sudah ditetapkan menjadi milik negara yang belum dilakukan penilaian dan belum dilaporkan dalam Neraca DJBC Tahun 2007. Barang tersebut terdiri dari barang yang mudah rusak seperti textile, barang elektronik, susu kental manis, beras, dan gula pasir. Sampai akhir pemeriksaan, barang tersebut masih tersimpan di gudang KPPBC dan belum dilakukan pelelangan hampir 12 bulan sejak diterbitkannya persetujuan lelang dari Menteri Keuangan.
Beberapa kementerian negara/lembaga yang juga mengelola barang SBR antara lain Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia (tindak pidana umum), Mahkamah Agung (dhi. Pengadilan), Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (dhi. Rupbasan), Badan Narkotika Nasional (barang bukti operasi narkoba), Komisi Pemberantasan Korupsi (barang bukti tindak pidana korupsi), Departemen Kehutanan (barang bukti illegal logging), TNI (barang sitaan operasi patroli keamanan), dan Depertemen Kelautan dan Perikanan (barang bukti illegal fishing/sand mining). Kelemahan ini mengakibatkan:
a. Nilai Aset Lain-lain pada Neraca Pemerintah Pusat Tahun 2007 tidak dapat diyakini kewajarannya.
b. Catatan Atas LKPP Tahun 2007 tidak mencerminkan pengungkapan penuh tentang pengelolaan barang SBR.
c. Penerimaan negara dari barang sitaan yang sudah in kracht namun belum dilelang berpotensi hilang.
E. Sistem Pengendalian atas Utang
Saldo Utang Luar Negeri dan Utang Bunga Utang Luar Negeri tidak dapat diyakini kewajarannya. Hasil pemeriksaan atas LKPP Tahun 2007 menunjukkan adanya selisih jumlah penarikan pinjaman luar negeri antara Laporan Keuangan BA 069 dengan LKPP sebesar Rp3.549,91 miliar. Hasil konfirmasi Tim pemeriksa BPK kepada 74 kreditor secara sampling berdasarkan nilai outstanding utang luar negeri yang dihasilkan SAUP, diperoleh selisih atas nilai outstanding utang luar negeri per 31 Desember 2007 antara hasil konfirmasi dengan data SAUP, yaitu selisih lebih sebesar Rp311,89 miliar, dan selisih kurang sebesar Rp8.532,98 miliar.
Sementara dari hasil pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-undangan didapati temuan-temuan sebagai berikut:
A. Pendapatan Negara dan Hibah
Pungutan pada sebelas Kementerian Negara/Lembaga minimal senilai Rp286,41 miliar tidak ada dasar hukumnya dan/atau dikelola di luar mekanisme APBN. Permasalahan tersebut mengakibatkan pengelolaan atas penerimaan negara pada kementerian negara/lembaga minimal sebesar Rp286,41 miliar tidak transparan dan akuntabel, serta tidak dipertanggungjawabkan.
B. Belanja Negara
Pertanggungjawaban belanja Pemerintah Pusat untuk Dana Dekonsentrasi (DD) dan Tugas Pembantuan (TP) tidak memadai. Keadaan tersebut mengakibatkan aset tetap yang bersumber dari DD/TP tidak disajikan secara tepat dan pengungkapan DD/TP belum memberikan informasi yang memadai. Berdasarkan pemeriksaan BPK atas LKPP Tahun 2007, terdapat beberapa kementerian/lembaga yang memiliki permasalahan pertanggungjawaban kegiatan DD/TP, yaitu: Depdiknas (Rp 364,84 miliar), Depbudpar, Depdagri (Rp 0,81 miliar), Depsos, Depkes (Rp 448,09 miliar), Depnakertrans (Rp 0,76 miliar), Dephut (Rp 0,71 miliar), Deptan dan Departemen ESDM (Rp 92,62 miliar). Hal tersebut disebabkan:
a. Pemerintah kurang memantau dan mengawasi pertanggungjawaban kegiatan DD/TP; dan
b. Pemerintah tidak tegas dalam memberikan sanksi bagi Pemerintah Daerah yang tidak melaksanakan pertanggungjawaban DD/TP.
Pemeriksaan atas Rekening Pemerintah Lainnya di Bank Indonesia menunjukkan adanya pengeluaran di luar mekanisme APBN sebesar Rp8.491,12 miliar yang terdiri dari:
a. Pembayaran fee sebesar Rp 61,3 miliar kepada bank penata usaha penerimaan piutang dan penyaluran pinjaman Rekening Dana Investasi.
b. Pembayaran Proyek Pasar Sentral Watampone Kabupaten Bone sebesar Rp 24,27 miliar yang dikeluarkan langsung dari Rekening Pemerintah Daerah.
c. Pemindahbukuan annual fee PT Inalum tahun 2006 sebesar Rp 73,02 miliar.
d. Pembayaran kembali PPN dan PBB Panas Bumi sebesar Rp 107,13 miliar.
e. Pembayaran Reimbursement PPN kepada para Kontraktor untuk KPS sebesar Rp4.183,86 miliar.
f. Pembayaran fee kepada KKKS Migas atas penyerahan sejumlah minyak bumi dan atau gas bumi dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri sebesar Rp 3.219,57 miliar.
g. Pembayaran Dana Cadangan Operasional BP Migas sebesar Rp 567,53 miliar.
h. Pembayaran under lifting oleh Pemerintah kepada KKKS sebesar Rp 254,44 miliar.
Kondisi tersebut mengakibatkan pengeluaran RPL di BI sebesar Rp8.491,12 miliar tidak dapat dipertanggungjawabkan.
C. Aset dan Kewajiban
Status penitipan, pengelolaan, penggunaan, dan pertanggungjawaban potongan gaji PNS untuk iuran dana pensiun tidak diatur dengan jelas. Berdasarkan data yang diterima dari PT Taspen (Persero) diketahui bahwa dana titipan yang diterima sejak penitipannya sampai dengan per 31 Desember 2007 adalah sebesar Rp24.685,51 miliar yang terdiri atas dana awal yang diserahkan sebesar Rp594,08 miliar dan iuran dana pensiun yang dipotong setiap bulannya sebesar Rp24.091,43 miliar. Sedangkan hasil investasi dari dana tersebut sampai dengan tahun 2007 adalah sebesar Rp21.548,83 miliar sehingga total dana yang tersedia adalah sebesar Rp46.234,35 miliar.
Status dana titipan yang berasal dari iuran dana pensiun PNS tidak dicatat sebagai aset Pemerintah dan porsi dana titipan yang digunakan Pemerintah untuk sharing pembayaran pensiun tidak dicatat sebagai kewajiban kepada PNS. Penggunaan dana tersebut oleh Pemerintah untuk sharing pembayaran pensiun tidak sesuai dengan ketentuan dan UU No.11 tahun 1969.
Revitalisasi Fungsi Pengawasan DPR
Sebagian temuan pemeriksaan BPK yang kami uraikan diatas, apabila dijumlahkan didapat angka total sebesar Rp 1.048.838,28 miliar ( Rp 1.048 trilyun) ditambah USD 391,45 ribu. Jumlah tersebut lebih besar dibanding Belanja APBN-P 2008 sebesar Rp 989.493,81 miliar (Rp 989 trilyun)
Besarnya angka tersebut mengindikasikan banyaknya potensi penyimpangan dikarenakan kelemahan yang ada pada Pemerintah Pusat. Oleh karena itu secara kelembagaan diperlukan revitalisasi fungsi pengawasan DPR untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK tersebut.
UU no.15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Pasal 21 menyebutkan bahwa DPR dapat meminta penjelasan kepada BPK tentang hasil pemeriksaannya dan DPR dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan lanjutan tersebut dapat berupa pemeriksaan investigatif, pemeriksaan kinerja atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
DPR dapat meminta BPK untuk memeriksa kembali 38 kementerian/lembaga yang mendapat opini disclaimer dan 1 kementerian yang mendapat opini adverse. DPR dapat meminta BPK untuk memeriksa kembali kementerian/lembaga terkait temuan pemeriksaan yang tersebut diatas.
Hal ini sangat penting dalam rangka memperbaiki sistem keuangan negara yang masih berantakan ditambah lamban serta lemahnya kemauan pemerintah untuk memperbaiki dan menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan BPK. UU No.15 tahun 2004 Pasal 20 ayat 5 mengancam pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban menindaklanjuti rekomendasi laporan hasil pemeriksaan dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.

Comments :

0 komentar to “Potensi Penyimpangan Anggaran Negara”

Posting Komentar

 

Copyright © 2009 by LAKRa BONE