Lembaga Advokasi dan Kesejahteraan Rakyat yang disingkat dengan LAKRa alamat Jln Andalas No.31 Watampone 92713 Kabupaten Bone Propinsi Sulawesi Selatan.
LAKRa secara resmi didirikan pada Tanggal 28 Oktober Tahun 2002. Demokratisasi yang dilakukan belum berdampak signifikan terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia (khususnya ECOSOC Rights) maupun penciptaan good governance khususnya di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Rakyat belum memiliki akses yang memadai pada proses-proses pembuatan dan pengawasan keputusan publik.
Reformasi pada Tahun 1998. Tuntutan terhadap kebebasan yang lebih luas dan Pemerintahan yang bersih dan bebas dari KORUPSI. Penerapan Otonomi Daerah Tahun 2000 dimana peningkatan tuntutan adanya Independensi daerah dari Pusat dan partsipasi masyarakat yang lebih luas di segala bidang.
Fokus Kegiatan
• Promosi Hak Asasi Manusia
• Advokasi / Lobbi
• Partisipasi Publik
• Pemerintahan yang Bersih
• Promosi Toleransi dan Pluralisme
• Pengurangan Kemiskinan
• Pelayanan Publik
• Anti Korupsi
• Lingkungan Hidup
Visi
• Mewujudkan kedaulatan Rakyat demi terwujudnya rakyat sejahtera, berkeadilan, berkemakmuran, berkemanusiaan dan bermartabat.
• Menigkatkan kesejahteraan Rakyat melalui Partisipasi Publik
Misi
• Meningkatkan pemahaman dan kesadaran rakyat atas hak-haknya sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
• Mengembangkan kualitas dan potensi rakyat agar mampu berkarya dan mandiri
• Tercipta kebijakan pemerintah yang menyangkut pemenuhan tanggungjawab pemerintahan dalam perlindungan hak-hak rakyat
• Mendorong tersedianya pelayanan publik yang berkualitas, khususnya bagi kelompok rakyat miskin
• Membangun sinergi dengan lembaga pemerintah dan lembaga publik lainnya yang cocern terhadap penegakan Hak Asasi Manusia, Demokratis dan menghargai pluralitas.
Pengorganisasian Komunitas
• Upaya penyadaran hak dan peningkatan kapasitas rakyat untuk berperan aktif dalam penentuan keputusan publik.
• Proses fasilitasi dan pembentukan “forum Rakyat”
• Proses fasilitasi pengembangan inisiatif warga dalam kebijakan publik
• Proses fasilitasi formulasi inisiatif warga menjadi rancangan peraturan daerah
Dampak Pengorganisasian
• Tergalanganya solidaritas antar warga dan kelompok-kelompok warga yang didampingi.
• Diperolehnya strategi bersama di tingkat komunitas warga
• Terumuskannya secara jelas masalah dan inisiatif dari komunitas Rakyat sebagai bahan untuk rancangan kebijakan atau usulan..
Komunitas Dampingan
• Kelompok pekerja marjinal (misalnya; Anak Terlantar/anjal, pengemudi becak, pedagang kaki lima (pk5), guru honorer)
• Rakyat Miskin
• Aktivis muda di tingkat warga
Selengkapnya...
Senin, 11 Mei 2009
Profile LAKRa BONE
Jumat, 08 Mei 2009
PENDIDIKAN GRATIS BAGI RAKYAT MISKIN
Realitas sosial secara global menunjukkan bahwa dunia pendidikan di Indonesia adalah yang tertinggal bahkan dari negara-negara tetangga di rantau ASEAN sekalipun.
Karena kenyataannya sampai saat ini pemerintah belum sanggup memenuhi anggaran pendidikan 20 persen di luar gaji guru dan pendidikan kedinasan. Akibatnya, realitas dunia pendidikan kita pun belum mampu bersaing dalam tataran globalisasi. Dunia pendidikan kita masih belum bisa menjawab tantangan kemajuan zaman. Kondisi pendidikan Indonesia juga sudah jauh tertinggal dari negara-negara tetangga sesama ASEAN. Berdasarkan laporan UNDP, indeks pembangunan manusia (IPM) tahun 2007 menempatkan Indonesia berada pada urutan ke-108 dari 177 negara.
Penilaian yang dilakukan oleh lembaga kependudukan dunia (UNDP) ini menempatkan Indonesia pada posisi yang jauh lebih rendah dari Malaysia, Filipina, Vietnam, Kamboja, bahkan Laos. Kondisi tersebut justru berbanding terbalik dengan jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar.
Sampai saat ini dunia pendidikan kita juga masih dihadapkan pada tantangan besar untuk mencerdaskan anak bangsa, terutama adalah meningkatkan akses, pemerataan, dan kualitas pelayanan pendidikan, terutama pada jenjang pendidikan dasar. Meskipun hampir seluruh anak usia 7-12 tahun sudah bersekolah, masih terdapat sebagian anak yang tidak bersekolah, terutama karena alasan ekonomi atau tinggal di daerah terpencil yang belum terjangkau oleh layanan pendidikan. Demikian pula dengan anak usia 13-15 tahun yang seharusnya dapat mengenyam pendidikan paling tidak sampai dengan pendidikan dasar, sebagian tidak dapat bersekolah. Pada saat yang sama kesenjangan partisipasi pendidikan juga masih terjadi, terutama antara penduduk miskin dan penduduk kaya.
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun hanya bagus di kertas tapi bermasalah dalam implementasi. Meskipun pemerintah telah menyediakan bantuan operasional sekolah (BOS) untuk jenjang pendidikan dasar, namun masih ditemukan adanya beberapa sekolah yang masih menarik berbagai iuran sehingga memberatkan orang tua, terutama bagi keluarga miskin.
Kesenjangan partisipasi pendidikan tersebut terlihat makin mencolok pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Tertinggalnya pembangunan pendidikan di Indonesia akan membawa dampak buruk bagi masa depan anak-anak Indonesia sehingga angka pengangguran dan kemiskinan semakin bertambah.
Rendahnya perhatian negara terhadap sektor pendidikan sebagai sektor yang harus diperhatikan secara serius berdampak pada kebobrokan dunia pendidikan dengan maraknya praktik komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Pendidikan menjadi barang mahal sehingga anak-anak bangsa yang miskin dan tidak mampu akan terlempar dari dunia pendidikan. Pendidikan hanya mampu dinikmati oleh orang-orang kaya yang berpunya.
Orang yang punya uang, mereka bebas menikmati kualitas pendidikan yang baik. Jika miskin maka harus pasrah dengan kualitas pendidikan yang seadanya, tidak bermutu dan menyedihkan.Padahal, pendidikan berkualitas dan bermutu mestinya harus sudah bisa dinikmati oleh seluruh anak bangsa negeri ini. Pendidikan berkualitas merupakan aset negeri untuk mencetak SDM unggul di masa depan.
Pendidikan berkualitas memang membutuhkan anggaran besar. Namun, bukan berarti hal itu dibebankan kepada masyarakat. Kewajiban pemerintahlah yang seharusnya menjamin pendidikan setiap rakyatnya, baik kaya ataupun miskin dengan akses yang mudah untuk pendidikan yang bermutu.
Pendidikan akhirnya terjebak dalam telikungan kapitalisme, bukan lagi kepentingan kemanusiaan sebagaimana misi sejatinya. Kapitalisasi pendidikan jelas sangat merugikan rakyat kecil yang selama ini tidak mendapat hak pendidikan dari negara secara adil dan merata. Pendekatan paradigma kapitalisasi pendidikan senantiasa mengejar keuntungan individu dengan mengorbankan hak-hak kolektif bahkan masyarakat secara luas. Padahal…Seperti kata Lenin : 'Berhemat-hematlah berekonomi dalam hal apa pun, kecuali untuk keperluan pendidikan.'
Selengkapnya...
Potensi Penyimpangan Anggaran Negara
BPK kembali memberikan opini disclaimer (tidak menyatakan pendapat) terhadap hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2007. Hal ini disampaikan Ketua BPK Anwar Nasution saat menyerahkan secara resmi Laporan Hasil Pemeriksaan BPK tersebut kepada DPR RI dalam Sidang Paripurna DPR RI tanggal 3 Juni 2008 lalu.
BPK kembali memberikan opini disclaimer (tidak menyatakan pendapat) terhadap hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2007. Hal ini disampaikan Ketua BPK Anwar Nasution saat menyerahkan secara resmi Laporan Hasil Pemeriksaan BPK tersebut kepada DPR RI dalam Sidang Paripurna DPR RI tanggal 3 Juni 2008 lalu.
Semua LKPP yang disusun pemerintah sejak tahun 2004 hingga tahun 2007 mendapat opini disclaimer. Artinya tidak ada peningkatan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara sehingga informasi keuangan negara yang tersedia tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Ada tujuh alasan pokok yang menyebabkan BPK memberi opini disclaimer pada LKPP Tahun 2004-2007:
1. Terbatasnya akses BPK RI atas informasi tentang penerimaan dan piutang pajak, dan biaya perkara yang dipungut oleh Mahkamah Agung, sehingga tidak dapat menyatakan pendapat mengenai tujuh puluh persen lebih jumlah penerimaan negara.
2. Adanya kelemahan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan negara.
3. Belum tertibnya penempatan uang negara dan belum adanya single treasury account pemerintah.
4. Tidak adanya inventarisasi asset serta utang maupun piutang negara.
5. Belum handal dan terintegrasinya sistem teknologi informasi negara.
6. Kelemahan sistem pengendalian internal pemerintah yang belum mampu melakukan reviu kebenaran laporan keuangan sebelum diperiksa BPK.
7. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan masih adanya penerimaan dan pengeluaran diluar mekanisme APBN.
Ketujuh alasan tersebut disimpulkan berdasarkan temuan-temuan pemeriksaan yang sebagian besar merupakan temuan-temuan yang berulang.
Temuan Pemeriksaan
Dari hasil pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern didapati temuan-temuan sebagai berikut:
A. Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
Proses Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2007 belum sepenuhnya sesuai dengan Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat. Hal ini menyebabkan terjadinya selisih yang tidak dapat dijelaskan, yaitu mengenai Realisasi Penerimaan Perpajakan terjadi selisih sebesar Rp7.958,48 miliar, Pelaporan Belanja pada Laporan Realisasi APBN (LRA) Tahun 2007 dan Pengeluaran Kas yang sejenis pada Laporan Arus Kas (LAK) Tahun 2007 berbeda nilainya sebesar minus Rp236,53 miliar, serta Hasil Penerimaan Negara selama tahun 2007 terjadi selisih sebesar Rp67.630,51 miliar (antara Modul Penerimaan Negara (MPN) dengan Bank/Kantor Pos) dan Rp28.770,01 miliar (antara MPN dengan Laporan Kas Posisi).
Kondisi tersebut mengakibatkan penerimaan perpajakan dan belanja negara yang dilaporkan dalam Laporan Realisasi APBN, dan pengeluaran sejenis pada Laporan Arus Kas Tahun 2007 tidak dapat diyakini kewajarannya.
B. Sistem Pengendalian Pendapatan Negara dan Hibah
Sistem pencatatan dan pelaporan penerimaan perpajakan, bea masuk dan cukai tidak dapat menyajikan data realisasi yang akurat. Hal ini menyebabkan terjadinya selisih realisasi penerimaan perpajakan antara data Sistem Akuntansi Pusat (SiAP) dan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) sebesar Rp7.958,48 miliar. Perbedaan tersebut tidak dapat direkonsiliasi oleh Pemerintah. Selain itu realisasi penerimaan bea masuk dan cukai terdapat selisih antara laporan keuangan dengan Direktorat PPKC sebesar Rp327,61 miliar. Kondisi tersebut mengakibatkan realisasi penerimaan perpajakan, bea masuk dan cukai tidak dapat diyakini kewajarannya.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pajak Penghasilan (PPh) Minyak dan Gas Bumi (Migas) tidak dilaporkan secara transparan dan atas realisasi penerimaan dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sebesar USD11,680,514,651 atau senilai Rp106.931,83 miliar tidak disetor langsung sesuai mekanisme APBN. Kondisi tersebut mengakibatkan realisasi penerimaan negara dari migas yang dikelola melalui KKKS tahun 2007 dicatat terlalu rendah.
Penerimaan dan penggunaan Dana Hibah secara langsung pada 12 kementerian negara/lembaga senilai Rp1.337,45 miliar belum dilaporkan dalam Laporan Realisasi APBN Tahun 2007. Permasalahan tersebut mengakibatkan penerimaan dan penggunaan dana hibah baik berupa uang maupun aset minimal senilai Rp1.337,45 miliar tidak dipertanggungjawabkan dan penyajian Penerimaan Hibah sebesar Rp1.697,75 miliar dalam Laporan Realisasi APBN LKPP Tahun 2007 tidak dapat diyakini kewajarannya.
C. Sistem Pengendalian Intern atas Belanja Negara
Sistem penyaluran, pencatatan, dan pelaporan realisasi belanja bantuan sosial tidak memadai. Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan kementerian negara/lembaga Tahun 2007 menunjukkan bahwa realisasi bantuan sosial belum disalurkan seluruhnya dan penganggaran bantuan sosial tidak sesuai dengan realisasinya pada tujuh kementerian negara/lembaga senilai Rp1.015,15 miliar.
Hal tersebut mengakibatkan realisasi belanja bantuan sosial yang dilaporkan dalam LKPP Tahun 2007 senilai Rp1.015,15 miliar tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
D. Sistem Pengendalian Aset
Hasil pemeriksaan BPK atas Rekening-rekening Pemerintah Lainnya (RPL) menunjukkan bahwa masih ada 25 RPL di BI dengan saldo sebesar Rp1.468,50 miliar untuk 24 rekening dan satu rekening bersaldo Rp0,00 yang sudah lebih dari dua tahun tidak ada mutasi transaksi. Informasi lain mengenai dasar hukum, tujuan pembukaan rekening, jenis rekening, sumber dana, dan pejabat yang melakukan pembukaan rekening tidak dapat dijelaskan.
Rekening pemerintah pada kementerian/lembaga juga belum selesai ditertibkan dan masih banyak yang tidak jelas statusnya. Hingga saat ini terdapat 3.931 rekening dengan nilai Rp10.228,26 miliar dan US$391,45 ribu yang belum selesai pembahasannya dan belum dapat ditetapkan statusnya.
Hal tersebut mengakibatkan pemanfaatan atas saldo Kas Negara pada rekening-rekening tersebut tidak optimal. Selain itu, posisi Kas dan Bank yang dilaporkan dalam Neraca Pemerintah Pusat per 31 Desember 2007 tidak dapat diyakini kewajarannya.
Piutang Pajak sebesar Rp42.042,10 miliar yang disajikan dalam LKPP Tahun 2007 tidak dapat diyakini kewajarannya. Sampai dengan pemeriksaan berakhir, DJP tidak dapat memberikan/menunjukkan penjelasan/dokumen sumber penyajian data tentang nilai Piutang Pajak yang sedang diajukan keberatan/banding. Berdasarkan kondisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa DJP tidak mengetahui dengan pasti jumlah/nilai Piutang Pajak untuk kondisi per 31 Desember 2007 dan pengujian dokumen/data sumber penyajian nilai Piutang Pajak dalam laporan keuangan tidak dapat dilakukan kerena adanya pembatasan oleh DJP.
Nilai Penyertaan Modal Negara (PMN) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perusahaan Minoritas masing-masing sebesar Rp455.367,88 miliar dan Rp3.239,56 miliar tidak dapat diyakini kewajarannya. Laporan keuangan (Audited dan Unaudited) 74 BUMN tersebut belum dilampirkan dalam LKPP Tahun 2007 sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa LKPP yang diperiksa BPK harus dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan Negara dan badan lainnya.
Nilai Penyertaan Modal Pemerintah pada lembaga internasional tidak dapat diyakini kewajarannya. Laporan dari Pusat Kerjasama Internasional Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Departemen Keuangan, ternyata hanya mendasarkan pada laporan keuangan lembaga internasional yang bersangkutan tanpa didukung dengan dokumentasi transaksi dalam setiap setoran penyertaan yang dikonversikan ke dalam nilai rupiah dengan menggunakan kurs tengah BI per 31 Desember 2007. Pemeriksaan lebih lanjut dengan membandingkan laporan keuangan lembaga internasional dengan catatan yang diperoleh dari Pusat Kerjasama Internasional menunjukkan adanya selisih antara nilai penyertaan modal Pemerintah yang dilaporkan dalam LKPP Tahun 2007 dengan nilai yang tercantum dalam Laporan Keuangan Lembaga Internasional yang memiliki penyertaan modal Pemerintah sebesar USD92.11 juta atau Rp867,62 miliar.
Aset Lain-Lain berupa barang Sitaan, barang Bukti, dan barang Rampasan (SBR) di beberapa Kementerian Negara/Lembaga tidak dilaporkan dalam LKPP Tahun 2007. Saldo Aset Lain-Lain dalam LKPP Tahun 2007 sebesar Rp285.422,22 miliar masih belum memperhitungkan barang sitaan DJBC yang telah ditetapkan menjadi milik negara. Uji petik terhadap pengelolaan barang sitaan pada beberapa KPPBC diketahui masih terdapat barang sitaan yang sudah ditetapkan menjadi milik negara yang belum dilakukan penilaian dan belum dilaporkan dalam Neraca DJBC Tahun 2007. Barang tersebut terdiri dari barang yang mudah rusak seperti textile, barang elektronik, susu kental manis, beras, dan gula pasir. Sampai akhir pemeriksaan, barang tersebut masih tersimpan di gudang KPPBC dan belum dilakukan pelelangan hampir 12 bulan sejak diterbitkannya persetujuan lelang dari Menteri Keuangan.
Beberapa kementerian negara/lembaga yang juga mengelola barang SBR antara lain Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia (tindak pidana umum), Mahkamah Agung (dhi. Pengadilan), Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (dhi. Rupbasan), Badan Narkotika Nasional (barang bukti operasi narkoba), Komisi Pemberantasan Korupsi (barang bukti tindak pidana korupsi), Departemen Kehutanan (barang bukti illegal logging), TNI (barang sitaan operasi patroli keamanan), dan Depertemen Kelautan dan Perikanan (barang bukti illegal fishing/sand mining). Kelemahan ini mengakibatkan:
a. Nilai Aset Lain-lain pada Neraca Pemerintah Pusat Tahun 2007 tidak dapat diyakini kewajarannya.
b. Catatan Atas LKPP Tahun 2007 tidak mencerminkan pengungkapan penuh tentang pengelolaan barang SBR.
c. Penerimaan negara dari barang sitaan yang sudah in kracht namun belum dilelang berpotensi hilang.
E. Sistem Pengendalian atas Utang
Saldo Utang Luar Negeri dan Utang Bunga Utang Luar Negeri tidak dapat diyakini kewajarannya. Hasil pemeriksaan atas LKPP Tahun 2007 menunjukkan adanya selisih jumlah penarikan pinjaman luar negeri antara Laporan Keuangan BA 069 dengan LKPP sebesar Rp3.549,91 miliar. Hasil konfirmasi Tim pemeriksa BPK kepada 74 kreditor secara sampling berdasarkan nilai outstanding utang luar negeri yang dihasilkan SAUP, diperoleh selisih atas nilai outstanding utang luar negeri per 31 Desember 2007 antara hasil konfirmasi dengan data SAUP, yaitu selisih lebih sebesar Rp311,89 miliar, dan selisih kurang sebesar Rp8.532,98 miliar.
Sementara dari hasil pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-undangan didapati temuan-temuan sebagai berikut:
A. Pendapatan Negara dan Hibah
Pungutan pada sebelas Kementerian Negara/Lembaga minimal senilai Rp286,41 miliar tidak ada dasar hukumnya dan/atau dikelola di luar mekanisme APBN. Permasalahan tersebut mengakibatkan pengelolaan atas penerimaan negara pada kementerian negara/lembaga minimal sebesar Rp286,41 miliar tidak transparan dan akuntabel, serta tidak dipertanggungjawabkan.
B. Belanja Negara
Pertanggungjawaban belanja Pemerintah Pusat untuk Dana Dekonsentrasi (DD) dan Tugas Pembantuan (TP) tidak memadai. Keadaan tersebut mengakibatkan aset tetap yang bersumber dari DD/TP tidak disajikan secara tepat dan pengungkapan DD/TP belum memberikan informasi yang memadai. Berdasarkan pemeriksaan BPK atas LKPP Tahun 2007, terdapat beberapa kementerian/lembaga yang memiliki permasalahan pertanggungjawaban kegiatan DD/TP, yaitu: Depdiknas (Rp 364,84 miliar), Depbudpar, Depdagri (Rp 0,81 miliar), Depsos, Depkes (Rp 448,09 miliar), Depnakertrans (Rp 0,76 miliar), Dephut (Rp 0,71 miliar), Deptan dan Departemen ESDM (Rp 92,62 miliar). Hal tersebut disebabkan:
a. Pemerintah kurang memantau dan mengawasi pertanggungjawaban kegiatan DD/TP; dan
b. Pemerintah tidak tegas dalam memberikan sanksi bagi Pemerintah Daerah yang tidak melaksanakan pertanggungjawaban DD/TP.
Pemeriksaan atas Rekening Pemerintah Lainnya di Bank Indonesia menunjukkan adanya pengeluaran di luar mekanisme APBN sebesar Rp8.491,12 miliar yang terdiri dari:
a. Pembayaran fee sebesar Rp 61,3 miliar kepada bank penata usaha penerimaan piutang dan penyaluran pinjaman Rekening Dana Investasi.
b. Pembayaran Proyek Pasar Sentral Watampone Kabupaten Bone sebesar Rp 24,27 miliar yang dikeluarkan langsung dari Rekening Pemerintah Daerah.
c. Pemindahbukuan annual fee PT Inalum tahun 2006 sebesar Rp 73,02 miliar.
d. Pembayaran kembali PPN dan PBB Panas Bumi sebesar Rp 107,13 miliar.
e. Pembayaran Reimbursement PPN kepada para Kontraktor untuk KPS sebesar Rp4.183,86 miliar.
f. Pembayaran fee kepada KKKS Migas atas penyerahan sejumlah minyak bumi dan atau gas bumi dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri sebesar Rp 3.219,57 miliar.
g. Pembayaran Dana Cadangan Operasional BP Migas sebesar Rp 567,53 miliar.
h. Pembayaran under lifting oleh Pemerintah kepada KKKS sebesar Rp 254,44 miliar.
Kondisi tersebut mengakibatkan pengeluaran RPL di BI sebesar Rp8.491,12 miliar tidak dapat dipertanggungjawabkan.
C. Aset dan Kewajiban
Status penitipan, pengelolaan, penggunaan, dan pertanggungjawaban potongan gaji PNS untuk iuran dana pensiun tidak diatur dengan jelas. Berdasarkan data yang diterima dari PT Taspen (Persero) diketahui bahwa dana titipan yang diterima sejak penitipannya sampai dengan per 31 Desember 2007 adalah sebesar Rp24.685,51 miliar yang terdiri atas dana awal yang diserahkan sebesar Rp594,08 miliar dan iuran dana pensiun yang dipotong setiap bulannya sebesar Rp24.091,43 miliar. Sedangkan hasil investasi dari dana tersebut sampai dengan tahun 2007 adalah sebesar Rp21.548,83 miliar sehingga total dana yang tersedia adalah sebesar Rp46.234,35 miliar.
Status dana titipan yang berasal dari iuran dana pensiun PNS tidak dicatat sebagai aset Pemerintah dan porsi dana titipan yang digunakan Pemerintah untuk sharing pembayaran pensiun tidak dicatat sebagai kewajiban kepada PNS. Penggunaan dana tersebut oleh Pemerintah untuk sharing pembayaran pensiun tidak sesuai dengan ketentuan dan UU No.11 tahun 1969.
Revitalisasi Fungsi Pengawasan DPR
Sebagian temuan pemeriksaan BPK yang kami uraikan diatas, apabila dijumlahkan didapat angka total sebesar Rp 1.048.838,28 miliar ( Rp 1.048 trilyun) ditambah USD 391,45 ribu. Jumlah tersebut lebih besar dibanding Belanja APBN-P 2008 sebesar Rp 989.493,81 miliar (Rp 989 trilyun)
Besarnya angka tersebut mengindikasikan banyaknya potensi penyimpangan dikarenakan kelemahan yang ada pada Pemerintah Pusat. Oleh karena itu secara kelembagaan diperlukan revitalisasi fungsi pengawasan DPR untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK tersebut.
UU no.15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Pasal 21 menyebutkan bahwa DPR dapat meminta penjelasan kepada BPK tentang hasil pemeriksaannya dan DPR dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan lanjutan tersebut dapat berupa pemeriksaan investigatif, pemeriksaan kinerja atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
DPR dapat meminta BPK untuk memeriksa kembali 38 kementerian/lembaga yang mendapat opini disclaimer dan 1 kementerian yang mendapat opini adverse. DPR dapat meminta BPK untuk memeriksa kembali kementerian/lembaga terkait temuan pemeriksaan yang tersebut diatas.
Hal ini sangat penting dalam rangka memperbaiki sistem keuangan negara yang masih berantakan ditambah lamban serta lemahnya kemauan pemerintah untuk memperbaiki dan menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan BPK. UU No.15 tahun 2004 Pasal 20 ayat 5 mengancam pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban menindaklanjuti rekomendasi laporan hasil pemeriksaan dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Selengkapnya...
Sabtu, 02 Mei 2009
Inovasi Daerah dalam Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Peran serta masyarakat dalam mengawal jalannya roda reformasi juga merupakan salah satu instrument pengawasan yang sangat penting dan strategis dalam mendorong upaya perwujudan Tata Pemerintahan Daerah yang baik, demokratis, transparan dan akuntabel. Masyarakat diberikan akses yang luas untuk melakukan control terhadap penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Pengawasan Masyarakat telah terlegitimasi melalui ketentuan Peraturan Perundang-undangan antara lain : a) Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara, b) Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; c) Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; d) Keppres No.74 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Pelaksanaan fungsi pengawasan masyarakat sesuai dengan subtansi pokok tersebut, dalam rangka untuk melibatkan secara penuh masyarakat agar dapat memberikan informasi dan data secara dini terhadap terjadinya indikasi tindakan penyimpangan, penyalahgunaan wewenang yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah secara bertanggungjawab dan didukung dengan data dan fakta yang memadai sebagai bahan penulusuran lebih lanjut.
Demikian pula masyarakat memiliki hak untuk memperoleh akses yang luas jika membutuhkan informasi dari Penyelenggara Negara dan penyelenggara Negara berkewajiban memberikan pelayanan dalam rangka pelaksanaan pengawasan masyarakat, bahkan masyarakat dapat memperoleh penghargaan dari pemerintah jika informasi yang disampaikan mengandung kebenaran, penghargaan tersebut dapat berupa ucapan terima kasih atau pemberian dalam bentuk uang jika informasi yang disampaikan menyangkut kerugian Negara/Daerah.
Partisipasi aktif yang bersifat positif dari seluruh komponen masyarakat dalam mendukung suksesnya penyelenggaraan pemerintah daerah sangat dibutuhkan terutama dalam bidang pengawasan. Pengawasan ini dapat bersifat positif manakala dilaksanakan dalam tatanan koridor yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk mengoreksi dan mengingatkan Pemerintah bila pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah telah melenceng dari relnya. Sebaiknya pengawasan yang dilakukan akan bersifat negatif, bila pengawasan yang dilakukan hanya untuk kepentingan tertentu sekedar mencari-cari kesalahan pemerintah, dan sama sekali tidak memberikan solusi konkrit.
Seluruh komponen masyarakat baik itu mahasiswa, LSM, kalangan pers, dan organisasi kemasyarakatn dapat berpartisipsi dalam rangka mensukseskan terwujudnya clean goverment dan good governance dengan cara menyamakan persepsi dalam sebuah wadah “Forum Diskusi” INOVASI DAERAH dalam UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK yang akan merumuskan berbagai bentuk dan metode dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah Daerah. Pengawasan yang dilakukanoleh masyarakat ini akan berfungsi sebagai alat control social terhadap jalannya roda pemerintahan.
Selengkapnya...
Tambang Batu Bara untuk Rakyat
BONE, Sumbangn pihak ketiga oleh perusahaan tambang batu bara yang ada di Kabupaten Bone disinyalir tidak masuk ke kas daerah pasalnya, Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur soal sumbangan pihak ketiga tersebut masih belum jelas.
Diduga, sumbangan pihak ketiga tambang batu bara yang ada di Kabupaten Bone itu dimanfaatkan oknum pejabat atau masuk dalam kantong pribadi
oknum pejabat, dari instansi terkait yang berkenaan dengan perizinan pertambangan di Bone.
Ironisnya lagi, beberapa pejabat daerah dan bahkan anggota DPRD Bone, mengakui bahwa Perda tersebut belum ada dan juga ada beberapa pejabat termasuk
Bupati Bone, HAM Idris Galigo, yang mengakui kalau Perda yang mengatur itu sudah ada
Seperti halnya yang dilontarkan H Haruna, Ketua Komisi B DPRD Bone, Kamis (5/3) bahwa Perda yang mengatur soal sumbangan pihak ketiga belum ada di Kabupaten Bone dan juga menilai perusahaan tambang khususnya batubara yang beroperasi di Kabupaten Bone ditinjau ulang lagi dan diaudit terkait imbas
atau pemasukan ke kas daerah.
Berbeda yang dilontarkan Bupati Bone, HAM Idris Galigo, usai meresmikan Plasa Telkom Kamis kemarin, yang mengakui masih kurang mengetahui keberadaan Perda yang mengatur soal sumbangan pihak ketiga dan sekaligus mengaku tidak tahu terkait masuk tidaknya sumbangan pihak ketiga tersebut ke kas daerah.
Bahkan bupati menegaskan kalau memang ada sumbangan pihak ketiga yang tidak masuk ke kas daerah dan di kantongi oknum pejabat tertentu, segera dilaporkan untuk ditangkap.
"Kalau memang ada pejabat yang mengantongi sumbangan pihak ketiga itu, saya perintahkan untuk ditangkap," jelasnya. Sementara salah satu LSM di Kabupaten Bone yakni LAKRa (Lembaga Advokasi Kesejahteraan Rakyat), mulai menyoroti keberadaan tambang batu bara yang ada di Bone, yang dinilai legalitas operasionalnya masih belum jelas.
Selengkapnya...
Jalan Poros Makassar-Bone Dikerja Asal Jadi
WATAMPONE, BKM -- Kerusakan jalan di poros Makassar-Bone mulai diperbaiki. Hanya saja proses pengerjaannya terkesan dilakukan setengah hati dan asal jadi oleh kontraktor.
Jalan provinsi tersebut dikerjakan tidak lagi memenuhi standar konstruksi yang ada. Contohnya, pekerjaan lebih banyak dilakukan pada malam hari. Jarak tempuh pengangkutan aspal melebih jarak maksimal sesuai ketentuan, sehingga aspal dingin dan rawan hancur.
Selain itu, lapisan dasar jalan yang hendak diaspal tidak diberi lapisan aspal cair, yang mengakibatkan mudah pecah dan tidak melekat pada dasar aspal. Sementara pada ruas yang dianggap rawan longsor, juga tidak diberi lapisan pengalas yang maksimal.
Salah seorang tenaga pengawas lapangan PT Citratama Timurindo yang mengaku bernama Sudirman, ditemui saat sedang mengawasi pelaksanaan pekerjaan jalan di wilayah Kecamatan Camba, Kabupaten Maros pukul 04.00 dinihari. Dia mengaku proyek yang diawasinya saat ini lebih banyak dikerjakan pada malam hari. Jarak AMP (pemasak aspal) ke lokasi pekerjaan sejauh 100 kilometer.
''Kebanyakan kita bekerja malam. Soalnya kalau kerja siang banyak mobil yang lewat. Juga sering hujan. Kalau jarak AMP ke sini sekitar 100 kilometer lebih, karena berada di Bilibili, Gowa. Kondisi jalan yang mau dikerja juga memang sudah begini. Padahal sudah kita pringkot satu kali. Tapi bekasnya tidak ada karena terbawa hujan dan juga selalu dilalui mobil,'' jelas Sudirman.
Selain itu, perusahaan yang mengerjakan perbaikan jalan ini tidak memiliki papan proyek. Sedangkan direksi kit yang digunakan, juga bukan buatan kontraktor. Melainkan hanya memanfaatkan rumah penduduk.
Saat ditanya tentang perkembangan pelaksanaan proyeknya, Sudirman mengaku tidak tahu dan tidak bisa menjawab secara rinci. Sebab data yang diperlukan tersimpan di kantor pusat perusahaan tempatnya bekerja.
"Tidak ada papan proyeknya. Rumah yang kita tempati ini dijadikan direksi kit. Jadi kalau mau minta data proyek, semua ada di kantor pusat. Kami disini hanya pekerja,'' kilah Sudirman.
Apa yang dilakukan oleh PT Citratama Timurindo dalam pelaksanaan proyek rehabilitasi jalan antara Watampone-Makassar ini patut mendapat perhatian serus dari instansi terkait. Sebab jika tidak, dana milyaran rupiah yang terserap dalam pembangunan atau rehabilitasi jalan di proyek ini akan sia-sia.
Syamsuddin dari Lembaga Advokasi dan Kesejahteraan Rakyat (LAKRa), mengatakan seharusnya pelaksana proyek rehabilitasi jalan Watampone-Makassar diperiksa. Sebab setiap proyek harus ada papan proyek dan direksi kit. Apalagi ini proyek propinsi.
''Pelaksana proyek tidak memiliki itu, tapi tidak ada yang menegur. Saya curiga ada apa-apanya antara pemilik proyek dan pelaksananya,'' cetus Syamsuddin.
Selengkapnya...
LAKRa desak Penegak Hukum usut temuan BPK
BONE, Upeks--Lembaga Advokasi untuk Kesejahteraan Rakyat (LAKRa) dan Koalisi Anti korupsi (KATIK) menyesalkan kelalaian yang dilakukan Pemkab Bone berdasarkan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Temuan BPK menyebutkan, terjadi kerugian keuangan daerah sebesar Rp358,32 juta, yang terdiri dari denda atas keterlambatan pekerjaan dinas PU dan sekretariat DPRD sebesar Rp211,37 juta yang belum terbayar, serta dana fisik pengadaan pekerjaan peningkatan jalan, pengadaan komputer, lampu, pangkalan pendaratan ikan, serta di dinas PU yang masih kurang sebesar Rp146,95 juta.
Menurut Koordinator LAKRa, Suardi M, Senin (9/4) kemarin, temuan BPK itu bisa dikatakan suatu kelalaian yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten Bone dan hal ini patut dipertanyakan kenapa hal itu terjadi.
Walaupun Pemkab Bone siap untuk mengembalikan dan mengakui kelalaiannya, tetap perlu dilakukan proses hukum, sehingga tidak muncul adanya kesan yang buruk terhadap Pemkab Bone itu sendiri.
Selain itu, A Supardi dari KATIK juga berharap temuan BPK itu tidak dibiarkan begitu saja dan juga meminta kepada pihak yang berwajib memanggil oknum-oknum yang bertanggung jawab dalam hal itu.
Menurutnya, ini tidak bisa dibiarkan, karena ini sudah termasuk tindakan korupsi yang akan merugian keuangan daerah, dan akan memunculkan kesan jelek,dan aturanpun harus dijalankan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
(Subair)
Selengkapnya...
Jumat, 01 Mei 2009
Tanjung Pallette perlu di Optimalkan
WATAMPONE -- Kawasan wisata yang disanjung pemerintah Bone, Tanjung Pallete, ternyata tak memberi kontribusi keuangan bagi daerah ini. Sejak dibuka, tak seperser pun duit pendapatan asli daerah (PAD) dari kawasan ini. Selama ini, kawasan wisata Tanjung Pallette dikelola Perusahaan Daerah (Perusda) Bone. Sebelumnya lagi, pengelolaan Tanjung Pallette di bawah kendali investor asal Pulau Dewata bernama Bali House.
Pemerintah Bone sendiri menyadari, pemanfaatan kawasan ini bisa dimaksimalkan guna meraup PAD. Terbukti, Dinas Pariwisata setempat akhirnya mengambil alih pengelolaan.
Di tangan Dinas Pariwisata, pemerintah Bone lalu menarget PAD hingg Rp700 juta per tahun dari Tanjung Pallette. Kepala Dinas Pariwisata Bone, Andi Abubakar, mengakui hal ini.
Menurut Abubakar, target Rp700 juta per tahun masih normal. Dengan catatan, pengelolaan dilakukan dengan maksimal. Apalagi lanjut dia, sejumlah sarana dan prasarana untuk wisata laut ada di tempat ini.
"Tinggal bagaimana mengakselerasikan dengan kebutuhan wisatawan," ujar Abubakar, Kamis, 14 Februari.
Namun target ini ditanggapi perimis Lembaga Advokasi Kesejahteraan Rakyat (Lakra). Koordinator Divisi Kebijakan Publik Lakra, Nasruddin Zaelany, mengatakan, Bone memiliki segudang objek wisata. Tetapi objek wisata tersebut rata-rata terbengkalai.
Zaelany mencontohkan panggung terapung di Tanjung Pallette. Seharusnya, kata Zaelany, panggung itu bisa difungsikan untuk pentas seni. Sehingga ada fungsi ganda, di samping mendatangkan wisatawan juga jadi ajang pelestarian seni budaya.
Lesunya pengelolaan pariwisata di Bone, lanjut Zaelany, juga tergambar dari tidak adanya kepedulian terhadap sarana pendukung. (asw)
LAKRa Mendesak Pengusutan Penggunaan Retribusi Kesehatan
WATAMPONE–Indikasi korupsi dana retribusi kesehatan di Dinas Kesehatan (Diskes) Bone yang terkuak berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendapat tanggapan berbagai kalangan.Lembaga Advokasi Kesejahteraan Rakyat (Lakra) Bone misalnya mendesak instansi terkait turun tangan mengusut kasus dimaksud.
Aktivis Lakra, Suardi Mandang mengatakan, berdasarkan temuan BPK bahwa pengelolaan dan penerimaan retribusi kesehatan di Diskes tidak tertib. Pada tahun anggaran 2007, penerimaan Rp 495 juta, namun tidak disetorkan ke kas daerah.
Dari temuan itu menurut Suardi, BPK merekomendasikan Bupati Bone, HAM Idris Galigo
untuk memerintahkan bendahara penerimaan Diskes menyetorkan penerimaan 2007 tersebut kekas daerah.
Penerimaan tersebut bersumber dari puskesmas ke rekening kas daerah. "BPK telah menegur secara tertulis bendahara penerimaan yang tidak mengerjakan buku kas umum (BKU).
Selain itu, BPK juga meminta bupati menegur Kadis Kesehatan sebagai atasan langsung bendahara untuk lebih meningkatkan pengawasan dan pengendalian keuangan," ungkapnya.
Selain di Dinas Kesehatan lanjutnya, retribusi pelayanan kesehatan/asuransi pada
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tenriawaru juga dianggap terlambat diterima. Bahkan dana sebesar Rp 838 juga belum diterima.
Bendahara Diskes Bone, Akmal yang dikonfimasi menegaskan, tidak ada temuan BPK terkait penerimaan retribusi kesehatan tersebut. Dia juga mengaku sudah menyetor penerimaan ke kas daerah.
Di tempat terpisah, Kadis Keuangan dan Pengelolaan Aset Daerah, HA Surya Darma mengatakan, dana dari puskesmas dan rumah sakit sudah disetor ke kas daerah.
Dia menyatakan, baik rumah sakit maupun puskesmas memang kerap menggunakan dana masuk (PAD) untuk digunakan menutupi kebutuhan pasien sembari menunggu dana Pemkab cair.
Keterlambatan dana disebabkan bendahara belum menyelesaikan pertanggungjawabannya. "Saya saja tak akan mengeluarkan uang kalau tak ada pertanggungjawaban. Tapi akhir tahun lalu, dana itu sudah disetor ke kas daerah," tutur dia. (azh)